Tuesday, January 10, 2012

ILMU JARH WA AL TA'DIL

 
BAB I
Pendahuluan
Bila melihat fenomena jarh dan ta'dil saat ini, sungguh penulis sangat prihatin. Orang begitu mudah menjarh orang lain tanpa didasari ilmu. Baik alasannya, karena beda golongan, pemahaman maupun takut tersaingi. Dengan demikian pihak yang dijarh sangat dirugikan. Kenapa? Karena dengan ia dijarh, ia dijauhi sahabat-sahabatnya ataupun murid-muridnya, bahkan ta'lim pun yang biasa ia bisa bubar.
Selain itu dia (yang suka menjarh) belum tentu terpenuhi syarat-syarat sebagai penjarh. Atau bahkan dalam dirinya juga terdapat perbuatan yang menjadikannya ia dijarh. Bagaimana ia akan menjarh orang lain sedang dalam dirinya terdapat perbuatan yang menjadikan ia dijarh?
Kalau memang orang yang dijarh memang melakukan perbuatan yang menyebabkan ia dijarh sudahkah ia klarifikasi? Kalau sudah, sudah kah ia menasehatinya, agar ia bertaubat? Bila hal ini dilakukan sudah barang tentu tidak akan terjadi jarh secara serampangan. Sehingga dengan makalah ini penulis ingin menjelaskan kepada siapa saja yang menginginkan pengetahuan seputar pembasan al-jarh dan at-ta'dil. Diharapkan makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

PEMBAGIAN HADIST DARI KUALITAS DAN KUANTITAS RAWI



PEMBAGIAN HADIST
A.      PENDAHULUAN
HADIST DITINJAU DARI SEGI KUANTITASNYA
Ulama  berbeda  pendapat  tentang  pembagian hadist,  ditinjau dari segi kuantitas  atau  jumlah  rawi  yang  menjadi   sumber  berita  ini.  Di   antara   mereka   ada   yang    mengelompokkan   menjadi   3  bagian ,  yakni   Hadist  Mutawatir ,  Masyhur ,  dan Ahad.  Dan  ada  juga  yang  membaginya  hanya  menjadi  dua, yakni  Hadist  Mutawatir dan Ahad.
1.        Hadist Mutawatir
Pengertian Hadist Mutawatir
Mutawatir  menurut  bahasa  berarti  mutatabi  yakni  yang datang berikut dengan  kita , atau  yang  beriring-iringan   antara  satu  dengan  yang   lainnya  dengan  tidak  ada jaraknya.
Sedangkan pengertian hadist Mutawatir menurut istilah, terdapat formulasi definisi, antara lain :
§   " Hadist  yang  diriwayatkan  oleh  sejumlah  orang  besar  yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dulu berdusta".

Thursday, January 5, 2012

RIJALUL HADITS (RAWI)


RIJALUL HADITS (RAWI)

A.                DEFINISI RAWI
الراوي في لغة : الذى يروي الحديث و نحوه( المنوز: ٥٩٠
Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits ( naqil al-hadits).
Sebenarnya, sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadits pada tiap tabaqah-nya, juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits. Akan tetapi, yang membedakan antara rawi dan sanad terletak pada pembukuan atau pen-tadwin-an hadits. Orang yang menerima hadits dan kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin disebut perawi. Dengan demikian, maka perawi dapat disebut mudawwin (orang yang membukukan dan menghimpun hadits).

B.                 CONTOH RAWI

حدثنا محمد بن معمر بن ربعي القيس، حدثنا أبو هشام المحزومي عن عبد الواحد وهو ابن زياد حدثنا عثمان بن حكيم حدثنا محمد ابن المنكدر عن عمران عن عثمان بن عفان قال ؛ قال رسول الله صلي الله عليه و سلم ؛ من توضأ فأحسن الوضوء خرجت خطاياه من جسده حتي تخرج من تحت أظفاره.(رواه مسلم)
Artinya:
“ Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ma’mur bin Rabi’i al-Qaisi, katanya telah menceritakan kepadaku Abu Hisyama al-Mahzumi dari Abu Al-Wahid yaitu Ibnu Ziyad, katanya telah menceritakan kepadaku ‘Utsman bin Hakim, katanya telah menceritakan kepadaku Muhammad al-Munqadir, dari ‘Amran, dari ‘Utsman bin Affan r.a. ia berkata” Barang siapa yang berwudu’ dengan sempurna (sebaik-baiknya wudu’), keluarlah dosa-dosanya dari seluruh badannya, bahkan dari bawah kukunya”(H.R. MUSLIM).
Dari nama Muhammad bin Ma’mur bin Rabi’il al-Qaisi sampai dengan ‘Utsman bin ‘Affan ra. adalah sanad dari hadits tersebut. Mulai kata “man tawadha’a” sampai dengan kata “tahta azhfarihi”, adalah matannya, sedangkan Imam Muslim yang dicatat diujung hadits adalah perawinya, yang juga disebut mudawwin.

A.                SYARAT-SYARAT RIJALUL HADITS
1.                  Islam
2.                  Baligh
3.                  ‘Adil
4.                  Dhabith

ILMU RIJAL AL-HADITS


A.    DEFINISI ILMU RIJAL AL-HADITS

‘Ilmu rijal al-hadits ( (علم رجال الحديثialah:
                                            
علم رجال الحديث هو علم يعرف به رواة الحديث من حيث أنهم رواة للحديث   
Ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitasnya sebagai perawi hadits.
Maksudnya ialah ilmu yang membicarakan seluk beluk dan  sejarah kehidupan para perawi, baik dari generasi sahabat, tabi’in maupun tabi’it tabi’in.

Dari pengertian tersebut, dapat diambil pemahaman bahwa kedudukan ilmu ini sangat penting, mengingat obyek kajiannya pada “matan” dan “sanad”, sebab kemunculan ilmu rijal al-hadits bersama-sama dengan periwayatan hadits dan bahkan sudah mengambil porsi khusus untuk mempelajari persoalan-persoalan di sekitar sanad.[18] Oleh sebab itu mempelajari ilmu ini sangat penting, sebab nilai suatu hadits sangat dipengaruhi oleh karakter dan perilaku serta biografi perawi itu sendiri.[19]

            Adapun para perawi yang menjadi obyek kajian ilmu rijal al-hadits ini adalah:
a). Para sahabat, sebagai penerima pertama dan sebagai kelompok yang dikenal dengan sebutan thabaqat awwal ( generasi pertama) atau dikenal sebagai sanad terakhir lantaran sebagai penerima langsung dari sumber asalnya, yaitu Nabi Saw.[20]
b).  Para tabi’in, dikenal sebagai thabaqat tsani ( generasi kedua).[21]
c).  Para muhadhramin (المحضرمين), yaitu orang-orang yang mengalami hidup pada masa Jahiliyyah dan masa Nabi Saw. dalam kondisi islam, tetapi tidak sempat menemuinya dan mendengarkan hadits darinya.[22]
d). Para mawalliy, yaitu para perawi hadits dan ulama yang pada awalnya berstatus budak.[23]
Sedang kitab yang membahas persoalan sejarah para perawi hadits secara periodik dari generasi ke generasi (thabaqat) adalah:
a). Thabaqat al-kubra (  طبقات الكبرى), karyaMuhammad bin Sa’ad (w. 230 H).
b). Thabaqat al-ruwwat ( طبقات الرواة ), karya Kalifah bin ‘Ashfariy (240 H).

Dalam perkembangan selanjutnya, muncullah dari kedua kitab tersebut pembahasan lanjutan yang memang sudah terbahas di dalamnya, yaitu ilmu jarh wal al-ta’dil dan ilmu tarikh ar-ruwwat, sebagaimana kitab-kitab yang orientasi pembahasannya pada disiplin ilmu rijal-hadits sebagai berikut ini:

a)                  "رجال صحيح مسلم" karya Ibnu Manjawaih ( 428 H. )
b)                   "رجال الموطئ"karya Iman al-Suyuthiy ( 911 H. )
c)                      السنن الأربعة "رجال"karya Ahmad bin Muhammad al-Kurdi (763 H.)
d)                  "رجال صحيح البخاري"karya Muhammad bin Dawud al-Kurdiy (925H.)

Dengan ilmu ini dapatlah kita mengetahui keadaan para perawi yang menerima hadits dari Rasulullah dan keadaan para perawi yang menerima hadits dari sahabat dan seterusnya. Di dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, mahzhab yang dipegang oleh para perawi dan keadaaan-keadaaan para perawi itu dalam menerima hadits.



















KESIMPULAN

 Sanad secara etimologi berarti sandaran atau tempat bersandar atau tempat berpegang. Adapun secara terminologi ialah silsilah para perawi yang menukilkan hadits dari sumbernya yang pertama.
Matan secara etimologi berarti berarti tanah yang tinggi. Adapun  secara terminologi ialah lafal-lafal hadits yang mengandung makna-makna tertentu. Dapat disimpulkan bahwa matan adalah isi hadits.
Rawi secara etimologi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits ( naqil al-hadits). Adapun secara terminologi ialah orang yang meriwayatkan hadis , baik dari sahabat, tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya.
Adapun syarat-syarat rijalul hadits yaitu:
 1). islam, 2). baligh, 3). ‘adil, 4). dhabith

‘Ilmu rijal al-hadits ialah:

علم رجال الحديث هو علم يعرف به رواة الحديث من حيث أنهم رواة للحديث   
Ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitasnya sebagai perawi hadits”.



[18]  Ajjaj, Ushul al-Hadis, Ulumuhu wa Mushtalahuhu,hal : 253 atau Thohhan, Taisir Mushtalah al-Hadis, hal : 22
[19] Thahhan, Ibid, hal: 173
[20] Untuk mengetahui sahabat, dapat dilihat dari adanya: 1). Adanya khabar Mutawattir, seperti penetapan sebagai khulafa’urrasyidin dan sebagainya. 2) Adanya khabar masyhur dan mustafid yang kapasitasnya belum mencapai mutawattir, seperti kesahabatan Damman bin Tsa’labah dan ‘Ukasyah. 3). Pemberitahuan sahabat lain, seperti kesahabatan Hamamah bin Hamamah al-Dausiy. 4).Keterangan dari tabi’in yang terpercaya. 6). Pengakuan sendiri selama tidak lebih dari 100 tahun dari meninggalnya Nabi Saw. Lihat al- Nawawiy, Taqrib Li al-Nawawiy Fann Ushul al-Hadits, (Kaero, Mathba’ah al-Syirkah Abdurrahman Muhammad, tth.), hal : 24 atau Thahhan, Taisir Musthalahul Hadist, hal :72
[21] Adapun untuk menentukan generasi tabi’in yang paling utama, para ahli berbeda pendapat, di antaranya ada yang mengatakan “Uwais bin ‘Amir al-Qarniy. Ini berdasarkan hadits Ibnu Umar yang ditakhrij Imam Muslim, yaitu 
سمعت رسول الله صلعم يقول : إن خير التابعين رجل يقال له أويس/ Nabi bersabda sebaik- baik tabi’in  ialah seorang laki-laki yang bernama Uwais). Lihat Muslim, Shahih Muslim, juz II, hal: 216 dan ada yang berpendapat Sa’ad bin Musyayyab ( pendapat Ahmad ibnu Hambal), sedang yang dari kelompok wanita adalah Hafshah binti Sirin dan Ummu Darda’ al- Sughra, al- Suyuthy, Tadrib al-Rawiy Syarkh Taqrib al-Nawawy, hal: 501).
[22] Dalam menanggapi kelompok ini, Ibnu Hajar berpendapat bahwa mereka tersebut termasuk kelompok tabi’in generasi pertama atau tabi’in besar, seperti Amru bin Maimun, Aswad bin Yazid al-Nakha’i, Su’aid bin Ghaflah, Suraij bin Hani’i, bahkan Imam Muslim mencatatnya berjumlah 24 orang, bahkan ada yang menghitung lebih dari itu (lihat at-Tirmasyi, Manhaj Dzawi al-Nazdar, hal : 230)  atau al-Nawawy, Taqrib Li al-Nawawiy Fann Ushul al-Hadits, hal: 35.
[23] al-Suyuthi, Tadrib al-Rawiy Syarkh Taqrib Li al-Nawawiy Fann Ushul al-Hadits,, hal: 302

TAKHRIJ AL-HADITS

TAKHRIJ AL-HADITS

A.    Pengertian
Kata takhrij  ( (تخريجadalah bentuk mashdar dari (خرّج-يخرّج-تخريجا) yang secara bahasa berarti mengeluarkan sesuatu dari tempatnya.
Sedang pengertian takhrij al-hadits menurut istilah ada beberapa pengertian, di antaranya ialah:
a)      Suatu keterangan bahwa hadits yang dinukilkan ke dalam kitab susunannya itu terdapat dalam kitab lain yang telah disebutkan nama penyusunnya. Misalnya, penyusun hadits mengakhiri penulisan haditsnya dengan kata-kata akhrajahul Bukhari artinya bahwa hadits yang dinukil itu terdapat dalam kitab Jami’us Shahih Bukhari. Bila ia mengakhirinya dengan kata akhrajahul muslim berarti hadits tersebut terdapat dalam kitab Shahih Muslim.
b)      Suatu usaha mencari derajat, sanad, dan rawi hadits yang tidak diterangkan oleh penyusun atau pengarang suatu kitab.
c)      Mengemukakan hadits berdasarkan sumbernya atau berbagai sumber dengan mengikutsertakan metode periwayatannya dan kualitas haditsnya.
d)      Mengemukakan letak asal hadits pada sumbernya yang asli secara lengkap dengan matarantai sanad masing-masing dan dijelaskan kualitas hadits yang bersangkutan.
Dari sekian banyak pengertian takhrij di atas, yang dimaksud takhrij dalam hubungannya dengan kegiatan penelitian hadits lebih lanjut, maka takhrij berarti “penelusuran atau pencarian hadits pada berbagai kitab-kitab koleksi hadits sebagai sumber asli dari hadits yang bersangkutan, yang di dalam sumber tersebut dikemukakan secara lengkap matan dan matarantai sanad yang bersangkutan.

B.    Faktor Penyebab Takhrij Al-Hadits
Adapun faktor utama yang menyebabkan kegiatan penelitian terhadap hadits (takhrij al-hadits) dilakukan oleh seorang peneliti hadits adlah sebagai berikut:
a)      Mengetahui asal-usul riwayat hadits yang akan diteliti
Maksudnya adalah untuk mengetahui status dan kualitas hadits dalam hubungannya dengan kegiatan penelitian, langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang peneliti adlah mengetahui asal-usul periwayatan hadits yang akan diteliti, sebab taanpa mengetahui asal-usulnya sanad dan matan hadits yang bersangkutan mengalami kesulitan untuk diketahui matarantai sanadnya sesuai dengan sumber pengambilannya, sehingga tanpa diketahui secara benar tentang matarantai sanad dan matan, maka seorang peneliti peengalami kesulitan dalam melakukan penelitian secara baik dan cermat. Makanya dari faktor ini, kegiatan penelitian hadits (takhrij) dilakukan.
b)      Mengetahui dan mencatat seluruh periwayatan hadits bagi hadits yang akan diteliti.
Maksudnya adalah mengingat redaksi hadits yang akan diteliti itu bervariasi antara satu dengan yang lain, maka diperlukan kegiatan pencarian seorang peneliti terhadap semua periwayatan hadits yang akan diteliti, sebab boleh jadi salah satu sanad haadits tersebut berkualitas dha’if dan yang lainnya berkualitas shahih.

c)      Mengetahui ada tidaknya syahid dan mutabi’ pada mata rantai sanad
Mengingat salah satu sanad hadits yang redaksinya bervariasi itu dimungkinkan ada perawi lain yang sanadnya mendukung pada sanad hadits yang sedang diteliti, maka sanad hadits yang sedang diteliti tersebut mungkin kualitasnya dapat dinaikkan tingkatannya oleh sanad perawi yang mendukungnya.
Dari dukungan tersebut, jika terdapat pada bagian perawi tingkat pertama (yaitu tingkat sahabat) maka dukungan ini dikenal dengan syahid. Jika dukungan itu terdapat pada bagian perawi tingkat kedua atau ketiga (seperti pada tingkatan tabi’I atau tabi’it tabi’in), maka disebut sebagai mutabi’ .

            Dengan demikian, kegiatan penelitian (takhrij) terhadap hadits dapat dilaksanakan dengan baik jika seorang peneliti dapat mengetahui semua asal-usul matarantai sanad dan matannya dari sumber pengambilannya. Begitu juga jalur periwayatan mana yang ada syahid dan mutabi’nya, sehingga kegiatan penelitian (takhrij) dapat dengan mudah dilakukan secara baik dan benar dengan menggunakan metode pentakhrijannya.

C. Metode Takhrij Al-Hadits
Setelah  mengetahui betul faktor-faktor yang menyebabkan penelitian hadits (takhrij al- hadits) di atas, maka langkah awal yang harus dilakukan seorang peneliti dalam melakukan kegiatan penelitian hadits (takhrij al-hadits) adalah hal-hal sebagai berikut:
a)      Kitab-kitab koleksi atau buku-buku pendukung tentang takhrij
           Telah dapat diketahui bersama bahwa untuk menelusuri hadits sampai pada sumber asalnya itu tidak semudah menelusuri ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya cukup dengn menggunakan sebuah kitab kamus Al-Qur’an, seperti Mu’jam al-Mufahras Li Al-fadhil Qur’an Al-karim (معجم المفهرس لالفاظ القرآن الكريم) karya Muhammad Fuad ‘Abdul Baqiy.
           Akan tetapi untuk menelusuri hadits tidak cukup hanya satu kitab koleksi, tetapi dari berbagai kitab koleksi hadits lainnya. Hal ini terjadi mengingat banyaknya para kolektor yang telah membuat kitab koleksi mereka masing-masing, sehingga menjadi penyebab sulitnya hadits ditelusuri sampai pada sumber asalnya lantaran terhimpun dalam banyak kitab.
           Ada beberapa kitab yang diperlukan untuk melakukan takhrij hadits. Adapun kitab-kitab tersebut antara lain:
1.      Hidayatul Bari ila Tartibi Ahadisil Bukhari (هدية البارى الى ترتيب احاديث البخارى )
Penyusun kitab ini adalah Abdur Rahman Ambar Al-misri At-Tahtawi. Kitab ini disusun khusus untuk mencari hadits-hadits yang termuat dalam Shahih Al-Bukhari. Lafal-lafal hadits disusun menurut aturan urutan huruf abjad arab. Namun hadits-hadits yang dikemukakan secara berulang dalam Shahih Bukhari tidak dimuat secara berulang dalam kamus di atas. Dengan demikian perbedaan lafal dalam matan hadits riwayat Al-Bukhari tidak dapat diketahui lewat kamus tersebut.
2.      Mu’jam Al-Fazi wala siyyama al-gharibu minha atau fihris litartibi ahadisi sahihi muslim(معجم الالفاظ و لا سيّما الغريب منها –او- فهرس لترتيب صحيح مسلم))
Kitab tersebut merupakan salah satu juz yakni juz ke-V dari kitab Shahih Muslim yang disunting oleh Muhammad Abdul Baqi. Juz V ini merupakan kamus terhadap juz ke-I – IV yang berisi:
a.      Daftar urutan judul kitab serta nomor hadits dan juz yang memuatnya.
b.      Daftar nama para sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits yang termuat dalam Shahih Muslim.
c.       Daftar awal matan hadits dalam bentuk sabda yang tersusun menurut abjad serta diterangkan nomor-nomor hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, bila kebetulan hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Bukhari.

3.      Miftahus Sahihain ( مفتاح الصّحيحين )
Kitab ini disusun oleh Muhammad Syarif bin Musthafa Al-Tauqiah. Kitab ini dapat digunakan untuk mencari hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan diriwayatkan oleh Muslim. Akan tetapi hadits-hadits yang dimuat dalam kitab ini hanyalah hadits-hadits yang berupa sabda (qauliyah) saja. Hadits-hadits tersebut disusun menurut abjad dari awal lafal matan hadits.

4.      Al-Bugyatu fi tartibi ahadisil hilyah ( البغية فى ترتيب احاديث الحلية )
Kitab ini disusun oleh Sayyid Abdul Aziz bin Al-sayyid Muhammad bin Sayyid Al-siddiq Al-Qammari yang memuat dan menerangkan hadits-hadits yang tercantum dalam kitab yang disusun Abu Nuaim Al-Asabuni (w.430 H) yang berjudul : Hidayatul auliyai wababaqatul asfiyai.
Sejenis dengan kitab tersebut di atas adalah kitab Miftahut tartibi li ahadisi tarikhil khatib (مفتاح التّرتيب لاحاديث تاريخ الخطيب )
Yang disusun oleh Sayyid Ahmad bin Sayyid Muhammad bin Sayyid As-Siddiq Al-Qammari yang memuat dan menerangkan hadits-hadits yang tercantum dalam kitab sejarah yang disusun oleh Abu bakar bin Ali bin Tsabit bin Ahmad Al-Baghdadi yang dikenal dengan Al-Khatib Al-Bagdadi (w.463 H). Susunan kitabnya diberi judul Tarikhul Bagdadi yang terdiri atas 4 jilid.
5.      Al-Jamius Sagir ( الجامع الصّغير (
kitab ini disusun oleh Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti (w.91 h). kitab kamus hadits tersebut memuat hadits-hadits yang terhimpun dan kitab himpunan kutipan hadits yang disusun oleh As-Suyuti juga, yakni kitab Jam’ul Jawani (جمع الجوامع  (
hadits yang dimuat dalam kitab Jamius Sugir disusun berdasarkan urutan abjad dari awal lafal matan hadis. Sebagian dari hadits-hadits itu ada yang ditulis secara lengkap dan ada pula yang ditulis sebagian-sebagian saja, namun telah mengandung pengertian yang cukup.
Kitab hadits tersebut juga menerangkan nama-nama sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits yang bersangkutan dan nama-nama mukharijnya (periwayat hadits yang menghimpun hadits dalam kitabnya). Selain itu, hampir setiap hadits yang dikutip dijelaskan kualitasnya menurut penilaian yang dilakukan atau disetujui oleh As-suyuti.
6.      Al- Mujam al-mufahras li alfazil hadits nabawi (المعجم المفرس لالفاظ الحديت النّبوى  
Penyusun kitab ini adalah sebuah tim dari kalangan orientalis. Di antara anggota tim yang paling aktif dalam kegiatan proses penyusunan ialah Dr. Arnold John Wensinck (w.1939 m.), seorang professor bahasa-bahasa semit, termasuk bahasa Arab di Universitas Leiden, negeri belanda.
Kitab ini dimaksudkan untuk mencari hadits berdasarkan petujuk lafal matan hadits. Berbagai lafal yang disajikan tidak dibatasi hanya lafal-lafal yang berada di tengah dan bagian-bagian lain dari matan hadits. Dengan demikian, kitab mu’jam mampu memberikan informasi kepada pencari matan dan sanad hadits, asal saja sebagian dari lafal matan yang dicarinya itu telah diketahuinya.
Kitab mu’jam ini terdiri dari tujuh juz dan dapat digunakan untuk mencari hadits-hadits yang terdapat dalam Sembilan kitab hadits, yakni: Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Turmudzi, Sunan Nasa’I, Sunan Ibnu Majjah, Sunan Daromi, Muwatta Malik, dan  Musnad Ahmad.
b)      Macam-Macam Metode Yang Dipakai dalam Takhrij Hadits.
Dalam takhrij terdapat beberapa macam metode yang diringkas dengan mengambil pokok-pokoknya sebagai berikut :
Metode Pertama, takhrij dengan cara mengetahui perawi hadits dari shahabat
Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui nama shahabat yang meriwayatkan hadits, lalu kita mencari bantuan dari tiga macam karya hadits :
  • Al-Masaanid (musnad-musnad) : Dalam kitab ini disebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh setiap shahabat secara tersendiri. Selama kita telah mengetahui nama shahabat yang meriwayatkan hadits, maka kita mencari hadits tersebut dalam kitab al-masaanid hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.
  • Al-Ma'aajim (mu'jam-mu'jam) : Susunan hadits di dalamnya berdasarkan urutan musnad para shahabat atau syuyukh (guru-guru) atau bangsa (tempat asal) sesuai huruf kamus (hijaiyyah). Dengan mengetahui nama shahabat dapat memudahkan untuk merujuk haditsnya.
  • Kitab-kitab Al-Athraf : Kebanyakan kitab-kitab al-athraf disusun berdasarkan musnad-musnad para shahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-athraf tadi untuk kemudian mengambil hadits secara lengkap.

Metode Kedua, takhrij dengan mengetahui permulaan lafadh dari hadits
Cara ini dapat dibantu dengan :
  • Kitab-kitab yang berisi tentang hadits-hadits yang dikenal oleh orang banyak, misalnya : Ad-Durarul-Muntatsirah fil-Ahaaditsil-Musytaharah karya As-Suyuthi; Al-Laali Al-Mantsuurah fil-Ahaaditsl-Masyhurah karya Ibnu Hajar; Al-Maqashidul-Hasanah fii Bayaani Katsiirin minal-Ahaaditsil-Musytahirah 'alal-Alsinah karya As-Sakhawi; Tamyiizuth-Thayyibminal-Khabits fiimaa Yaduru 'ala Alsinatin-Naas minal-Hadiits karya Ibnu Ad-Dabi' Asy-Syaibani; Kasyful-Khafa wa Muziilul-Ilbas 'amma Isytahara minal-Ahaadits 'ala Alsinatin-Naas karya Al-'Ajluni.
  • Kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan urutan huruf kamus, misalnya : Al-Jami'ush-Shaghiir minal-Ahaaditsil-Basyir An-Nadzir karya As-Suyuthi.
  • Petunjuk-petunjuk dan indeks yang disusun para ulama untuk kitab-kitab tertentu, misalnya : Miftah Ash-Shahihain karya At-Tauqadi; Miftah At-Tartiibi li Ahaaditsi Tarikh Al-Khathib karya Sayyid Ahmad Al-Ghumari; Al-Bughiyyah fii Tartibi Ahaaditsi Shahih Muslim karya Muhammad Fuad Abdul-Baqi; Miftah Muwaththa' Malik karya Muhammad Fuad Abdul-Baqi.
Metode Ketiga, takhrij dengan cara mengetahui kata yang jarang penggunaannya oleh orang dari bagian mana saja dari matan hadits
Metode ini dapat dibantu dengan kitab Al-Mu'jam Al-Mufahras li Alfaadzil-Hadits An-Nabawi, berisi sembilan kitab yang paling terkenal diantara kitab-kitab hadits, yaitu : Kutubus-Sittah, Muwaththa' Imam Malik, Musnad Ahmad, dan Musnad Ad-Darimi. Kitab ini disusun oleh seorang orientalis, yaitu Dr. Vensink (meninggal 1939 M), seorang guru bahasa Arab di Universitas Leiden Belanda; dan ikut dalam menyebarkan dan mengedarkannya kitab ini adalah Muhammad Fuad Abdul-Baqi.
Metode Keempat, takhrij dengan cara mengetahui tema pembahasan hadits
Jika telah diketahui tema dan objek pembahasan hadits, maka bisa dibantu dalam takhrij-nya dengan karya-karya hadits yang disusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul. Cara ini banyak dibantu dengan kitab Miftah Kunuz As-Sunnah yang berisi daftar isi hadits yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan. Kitab ini disusun oleh seorang orientalis berkebangsaan Belanda yang bernama Dr. Arinjan Vensink juga. Kitab ini mencakup daftar isi untuk 14 kitab hadits yang terkenal, yaitu :
  • Shahih Bukhari
  • Shahih Muslim
  • Sunan Abu Dawud
  • Jami' At-Tirmidzi
  • Sunan An-Nasa'i
  • Sunan Ibnu Majah
  • Muwaththa' Malik
  • Musnad Ahmad
  • Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi
  • Sunan Ad-Darimi
  • Musnad Zaid bin 'Ali
  • Sirah Ibnu Hisyam
  • Maghazi Al-Waqidi
  • Thabaqat Ibnu Sa'ad

D. Manfaat Takhrij Al-Hadits
Ada beberapa manfaat dari takhrij al-hadits antara lain sebagai berikut:
1.      Memberikan informasi bahwa suatu hadits termasuk hadits shahih, hasan, ataupun dhaif, setelah diadakan penelitian dari segi matan maupun sanadnya.
2.      Memberikan kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan setelah tahu bahwa suatu hadits adalah hadits makbul (dapat diterima). Dan sebaliknya tidak mengamalkannya apabila diketahui bahwa suatu hadits adalah mardud (tertolak).
3.      Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadits adalah benar-benar berasal dari Rasulullah SAW. Yang harus kita ikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadits tersebut, baik dan segi sanad maupun matan.

E.   Sejarah Takhrij Al-Hadits
Penguasaan para ulama terdahulu terhadap sumber-sumber As-Sunnah begitu luas, sehingga mereka tidak merasa sulit jika disebutkan suatu hadits untuk mengetahuinya dalam kitab-kitab As-Sunnah. Ketika semangat belajar sudah melemah, mereka kesulitan untuk mengetahui tempat-tempat hadits yang dijadikan sebagai rujukan para ulama dalam ilmu-ilmu syar'i. Maka sebagian dari ulama bangkit dan memperlihatkan hadits-hadits yang ada pada sebagian kitab dan menjelaskan sumbernya dari kitab-kitab As-Sunnah yang asli, menjelaskan metodenya, dan menerangkan hukumnya dari yang shahih atas yang dla'if. Lalu muncullah apa yang dinamakan dengan "Kutub At-Takhrij" (buku-buku takhrij), yang diantaranya adalah :
  • Takhrij Ahaadits Al-Muhadzdzab; karya Muhammad bin Musa Al-Hazimi Asy-Syafi'I (wafat 548 H). Dan kitab Al-Muhadzdzab ini adalah kitab mengenai fiqih madzhab Asy-Syafi'I karya Abu Ishaq Asy-Syairazi.
  • Takhrij Ahaadits Al-Mukhtashar Al-Kabir li Ibni Al-Hajib; karya Muhammad bin Ahmad Abdul-Hadi Al-Maqdisi (wafat 744 H).
  • Nashbur-Rayah li Ahaadits Al-Hidyah li Al-Marghinani; karya Abdullah bin Yusuf Az-Zaila'I (wafat 762 H).
  • Takhrij Ahaadits Al-Kasyaf li Az-Zamakhsyari; karya Al-Hafidh Az-Zaila'I juga. [Ibnu Hajar juga menulis takhrij untuk kitab ini dengan judul Al-Kafi Asy-Syaafi fii Takhrij Ahaadits Asy-Syaafi ]
  • Al-Badrul-Munir fii Takhrijil-Ahaadits wal-Atsar Al-Waqi'ah fisy-Syarhil-Kabir li Ar-Rafi'I; karya Umar bin 'Ali bin Mulaqqin (wafat 804 H).
  • Al-Mughni 'an Hamlil-Asfaar fil-Asfaar fii Takhriji maa fil-Ihyaa' minal-Akhbar; karya Abdurrahman bin Al-Husain Al-'Iraqi (wafat tahun 806 H).
  • Takhrij Al-Ahaadits allati Yusyiiru ilaihat-Tirmidzi fii Kulli Baab; karya Al-Hafidh Al-'Iraqi juga.
  • At-Talkhiisul-Habiir fii Takhriji Ahaaditsi Syarh Al-Wajiz Al-Kabir li Ar-Rafi'I; karya Ahmad bin Ali bin Hajar Al-'Asqalani (wafat 852 H).
  • Ad-Dirayah fii Takhriji Ahaaditsil-Hidayah; karya Al-Hafidh Ibnu Hajar juga.
  • Tuhfatur-Rawi fii Takhriji Ahaaditsil-Baidlawi; karya 'Abdurrauf Ali Al-Manawi (wafat 1031 H).
Contoh :
Berikut ini contoh takhrij dari kitab At-Talkhiisul-Habiir (karya Ibnu Hajar) :
Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,"Hadits 'Ali bahwasannya Al-'Abbas meminta kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam tentang mempercepat pembayaran zakat sebelum sampai tiba haul-nya. Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam memberikan keringanan untuknya. Diriwayatkan oleh Ahmad, para penyusun kitab Sunan, Al-Hakim, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi; dari hadits Al-Hajjaj bin Dinar, dari Al-Hakam, dari Hajiyah bin 'Adi, dari 'Ali. Dan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari riwayat Israil, dari Al-Hakam, dari Hajar Al-'Adawi, dari 'Ali. Ad-Daruquthni menyebutkan adanya perbedaan tentang riwayat dari Al-Hakam. Dia menguatkan riwayat Manshur dari Al-Hakam dari Al-Hasan bin Muslim bin Yanaq dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dengan derajat mursal. Begitu juga Abu Dawud menguatkannya. Al-Baihaqi berkata,"Imam Asy-Syafi'I berkata : 'Diriwayatkan dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bahwasannya beliau mendahulukan zakat harta Al-'Abbas sebelum tiba masa haul (setahun), dan aku tidak mengetahui apakah ini benar atau tidak?'. Al-Baihaqi berkata,"Demikianlah riwayat hadits ini dari saya. Dan diperkuat dengan hadits Abi Al-Bakhtari dari 'Ali, bahwasannya Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,"Kami sedang membutuhkan lalu kami minta Al-'Abbas untuk mendahulukan zakatnya untuk dua tahun". Para perawinya tsiqah, hanya saja dalam sanadnya terdapat inqitha'. Dan sebagian lafadh menyatakan bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda kepada 'Umar,"Kami pernah mempercepat harta Al-'Abbas pada awal tahun". Diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi dari hadits Abi Rafi' [At-Talkhiisul-Habiir halaman 162-163]

KESIMPULAN
            
Setelah memperhatikan isi dalam pembahasan di atas, maka dapat penulis tarik kesimpulan sebagai berikut :
a)      Dari sekian banyak pengertian takhrij di atas, yang dimaksud takhrij dalam hubungannya dengan kegiatan penelitian hadits lebih lanjut, maka takhrij berarti “penelusuran atau pencarian hadits pada berbagai kitab-kitab koleksi hadits sebagai sumber asli dari hadits yang bersangkutan, yang di dalam sumber tersebut dikemukakan secara lengkap matan dan matarantai sanad yang bersangkutan.

b)      Manfaat dari takhrij al-hadits diantaranya ialah memberikan informasi bahwa suatu hadits termasuk hadits shahih, hasan, maupun dhoif-Nya, setelah diadakan penelitian dari segi matan maupun sanad-Nya dan juga memberikan kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan atau tidaknya setelah mengetahui bahwa suatu hadits maqbul (dapat diterima) maupun mardud-Nya (tertolak).
 
DAFTAR PUSTAKA

Zein, Muhammad Ma’shum, M.A., Drs, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits,
           Departemen Agama RI, Jakarta: 2007
Ahmad, Muhammad, H. Drs., dan Mudzakir .M., dan Djaliel Abd Maman. Drs., Ulumul Hadits,
           CV. PUSTAKA SETIA, Bandung : 2004